Organisasi Merdeka di Indonesia
1.Organisasi Papua Merdeka
Organisasi Papua Merdeka (disingkat
OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri
pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang
sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya,dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi
provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan.Sejak awal OPM telah
menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang
Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung
secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan
Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang
negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia
dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.
Sejarah
Selama Perang Dunia II, Hindia
Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh Soekarno untuk menyuplai minyak
demi upaya perang Jepang dan langsung menyatakan merdeka dengan nama Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini Belanda (Nugini Barat) dan Australia
yang menjalankan pemerintahan di teritori Papua dan Nugini Britania menolak
penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika Serikat dan Australia
sepanjang Perang Pasifik. Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang
berakhir dengan diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan sampai
pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun 1963. Meski sudah ada perjanjian antara
Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik bersatu
dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan kepentingan
Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM didirikan bulan Desember 1963
dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak
pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi
pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri!Nugini Belanda mengadakan pemilu pada
Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada April 1961. Akan tetapi, di
Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden
A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke
Indonesia.Perjanjian New York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani
oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus
1962. Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib
sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act
of Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan
menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.Kelompok
separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1
Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari
kemerdekaan Papua. Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang
melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang
hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.Pada
bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite Nasional Nugini
yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim 30.000 tentara
Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua. Menurut Duta Besar
Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam
Malik juga meyakini bahwa militer Indonesia adalah penyebab munculnya masalah
di teritori ini dan jumlah personilnya harus dikurangi sampai separuhnya.
Galbraith menjelaskan bahwa OPM "mewakili orang-orang sentimen yang
anti-Indonesia" dan "kemungkinan 85-90 persen [penduduk Papua]
mendukung OPM atau setidaknya sangat tidak menyukai orang Indonesia".
Brigadir Jenderal Sarwo Edhie mengawasi perancangan dan pelaksanaan Act of Free
Choice pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969. Perwakilan PBB Oritiz Sanz tiba pada
22 Agustus 1968 dan berulang-ulang meminta agar Brigjen Sarwo Edhie mengizinkan
sistem satu orang, satu suara (proses yang dikenal dengan nama referendum atau
plebisit), namun permintaannya ditolak atas alasan bahwa aktivitas semacam itu
tidak tercantum dalam Perjanjian New York 05-05-1969 tetua adat Papua dipilih
dan diberitahu mengenai prosedur yang tercantum dalam Perjanjian New York.
Hasilnya adalah kesepakatan integrasi dengan Indonesia.
Deklarasi Republik Papua Barat
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas
Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai,
berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli
1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera
merancang konstitusinya. Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung
pada perpecahan OPM menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang
dipimpin Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai
suatu pasukan tempur yang terpusat. Sejak 1976, para pejabat perusahaan
pertambangan Freeport Indonesia sering menerima surat dari OPM yang mengancam
perusahaan dan meminta bantuan dalam rencana pemberontakan musim semi.
Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September
1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong
jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar
sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport
memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23.Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM
(OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih
kemerdekaan melalui kampanye diplomasi internasional. OPMRC bertujuan
mendapatkan pengakuan internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui
forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan,
dan ASEAN. Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi
dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung
diredam militer Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar.
Kegagalan ini menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke
kamp-kamp di Papua Nugini. Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia
mendapatkan informasi bahwa OPM kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah
karyawan Freeport adalah anggota atau simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari,
sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan
bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura".
Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry
dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga,
perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka
membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi
kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa,
memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi
diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta
bantuan polisi dan militer.Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan
Agustus 1996, OPM menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup
peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan
sisanya dibebaskan. Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara
air kota Biak di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari
sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara
orang-orang yang ditangkap.Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes,
kepala polisi Mulia, ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak
Jaya. Kepolisian Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian
serangan terhadap polisi Indonesia memaksa mereka menerjunkan lebih banyak
personil di Papua.Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang
diduga anggota OPM menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga
warung. Ia adalah transmigran asal Sumatera Barat.Tanggal 8 Januari 2012, OPM
melancarkan serangan ke bus umum yang mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan
1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera.Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota
OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di perbatasan
Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di
Jayapura.Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air
setelah mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan
bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat
kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron
Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot
Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti
Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang
berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para
militan mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.
Tanggal 1 Juli 2012, patroli
keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan seorang warga sipil tewas.
Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut.
Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca.
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang
diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban adalah anggota TNI. Dua
lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut
ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.
Hirarki organisasi dan otoritas pemerintahan
Organisasi internal OPM sulit
untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima Tertinggi' OPM adalah Mathias
Wenda.Juru bicara OPM di Sydney, John Otto Ondawame, mengatakan telah lebih
atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan.Jurnalis lepas Australia, Ben
Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah kemerdekaan.Tentara Nasional Indonesia
mengatakan OPM memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar Victoria' dan 'Pembela
Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil, dan dipimpin oleh ML Prawar sampai ia
ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh lebih besar dan beroperasi di
seluruh Papua Barat.Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran
(selanjutnya PEMKA), yang diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah
pemimpin Fraksi Victoria. Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah
komandannya. Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan
Seth Roemkorem sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden Pemerintahan
Sementara Papua Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai Ketua Senat. OPM
mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena
sebagai struktural terorganisasi. Selama ini, Pemerintah Senegal mengakui
keberadaan OPM dan memungkinkan OPM untuk membuka Kedutaan di Dakhar, dengan Tanggahma
sebagai Duta Besar. Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan
pergi ke Belanda. Selama ini, Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto
Ondawame (waktu itu ia meninggalkan sekolah hukum di Jayapura karena diikuti
dan diancam untuk dibunuh oleh ABRI Indonesia siang dan malam) menjadi tangan
kanan dari Jacob Prai. Itu inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan Regional
OPM. Dia menunjuk dan memerintahkan sembilan Komandan Regional. Sebagian besar
dari mereka adalah anggota pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan
Skotiau, Vanimo-Papua Barat. Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda
adalah komandan untuk wilayah II (Jayapura - Wamena), Kelly Kwalik untuk
Nemangkawi (Kabupaten Fakfak), Tadeus Yogi (Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen
untuk wilayah Maroke dan lain-lain. Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly
Kwalik ditembak dan dibunuh pada 16 Desember 2009.Pada tahun 2009, sebuah
kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliat Tabuni (Kabupaten
Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar tentang gerakan kemerdekaan
Papua Barat.
Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat
Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat (TPNPB), adalah sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPNPB
dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli
1971 di Markas Victoria. Pembentukan TPNPB adalah Tentara Papua Barat
berdasarkan Konstitusi Sementara Republik Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada
Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan.
2.Republik Maluku Selatan
Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang didirikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru.RMS di Ambon dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Seram masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik di Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai jumlah tersebut pada abad ke-19 dengan didirikannya Hindia Belanda. Perbatasan Indonesia saat ini terbentuk melalui ekspansi kolonial yang berakhir pada abad ke-20. Pasca-pendudukan oleh Kekaisaran Jepang tahun 1945, para pemimpin nasionalis di Pulau Jawa menyatakan kemerdekaan Indonesia. Tidak semua wilayah dan suku di Indonesia yang langsung bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Pemberontakan pribumi pertama yang terorganisasi muncul di Maluku Selatan dengan bantuan pemerintah dan militer Belanda. Kontra-revolusioner Maluku Selatan awalnya bergantung pasa perjanjian pascakolonial yang menjanjikan bentuk negara federal. Saat perjanjian yang disepakati antara pemerintah Belanda dan Indonesia pada Desember 1949 ini dianulir, mereka langsung memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan pada April 1950 dengan harapan mendirikan negara sendiri. Para pemimpin Maluku Selatan mendasarkan keputusan mereka pada perjanjian yang menjamin otonomi untuk setiap negara dalam federasi.
Pengasingan
Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962. Kekalahan di Ambun berujung pada pengungsian pemerintahan RMS dari pulau-pulau tersebut dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.Tahun berikutnya, 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan "Republik Maluku Selatan".Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah penelitian berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya dukungan dari pemerintah Belanda.
Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di Wassenaar. Seorang polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh pembajakan kereta api di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi oleh serangan buatan lain di konsulat Indonesia di Amsterdam. Tiga sandera dieksekusi di kereta dan seorang berkebangsaan Indonesia cedera parah saat mencoba kabur dari konsulat. Pada tahun 1977, terjadi pembajakan kereta di De Punt yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar di Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui serbuan marinir Bijzondere Bijstands Eenheid (BBE) yang menewaskan enam teroris dan dua sandera. Aksi RMS terakhir terjadi tahun 1978 ketika balai provinsi di Assen diduduki anggota RMS. Aksi ini juga digagalkan oleh pasukan BBE.
Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan RMS.
Presiden
Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (1966–1993).Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada tanggal 2 Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum mati. Ia dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.
Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans Tutuhatunewa M.D. pada tahun 1993–2010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi kekerasan terhadap Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan menyatakan bahwa generasi muda harus berfokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar ingin mendukung dan membangun Maluku Selatan.
Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga Indonesia, mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu pemulangan generasi pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti menuntut kemerdekaan.
John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang presiden-presiden sebelumnya.
Bendera
Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki proporsi 2:3. Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua hari kemudian, pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru melambangkan laut dan kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau tumbuh-tumbuhan, dan merah nenek moyang dan darah rakyat.Lambang
Lambang RMS menampilkan burung merpati putih Maluku bernama 'Pombo'. Merpati putih dianggap sebagai simbol positif dan harapan baik. 'Pombo' ditunjukkan bersiap-siap terbang, sayapnya setengah terbuka dan di paruhnya terdapat cabang pohon damai. Dadanya bertuliskan 'parang', 'salawaku', dan bentuk tombak.Bagian blazon dari lambang RMS bertuliskan 'Mena - Moeria'. Slogan ini berasal dari bahasa Maluku Melanesia asli. Sejak dulu, kata-kata ini diteriakkan oleh nahkoda dan pendayung perahu tradisional Maluku, Kora Kora, untuk menyeragamkan gerakan mereka saat ekspedisi lepas pantai. Slogan ini berarti 'Depan - Belakang', tetapi bisa juga diterjemahkan menjadi 'Saya pergi- Kita mengikuti' atau 'Satu untuk semua- Semua untuk satu'.
Lagu kebangsaan
Lagu kebangsaan RMS berjudul "Maluku Tanah Airku" dan dikarang dalam bahasa Melayu oleh Chr. Soumokil dan O. Sahalessy dengan aksara Latin dan Maluku Melanesia.Lirik
Teks asli
|
Oh Maluku, tanah airku, Tanah tumpah darahku. Ku berbakti padamu Slama hari hidupku. Engkaulah pusaka raya Yang leluhur dan teguh. Aku junjung selamanya Hingga sampai ajalku. Aku ingat terlebih Sejarahmu yang pedih. |
Oh Maluku, tanah airku, Tanah datuk-datukku. Atas via dolorosa Engkau hidup merdeka. Putra-putri yang sejati Tumpah darah bagimu. Ku bersumpah trus berbakti Serta tanggung nasibmu. Aku lindung terlebih Sejarahmu yang pedih. |
Mena-Muria, printah leluhur Segenap jiwaku seru. Bersegralah membelamu Seperti laskar yang jujur. Dengan prisai dan imanku Behkan harap yang teguh. Ku berkurban dan berasa Karena dikaa ibuku Ku doakan terlebih Mena-Muria, hiduplah! |
Perkembangan RMS saat ini
Perkembangan politik di Belanda
Duta besar Indonesia untuk Belanda, Yunus Effendi Habibie, memberitah Radio Netherlands Worldwide bahwa Indonesia senang mengetahui bahwa pemerintahan terasing Maluku tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan. Menurut Habibie, penduduk Maluku sudah diberikan hak otonomi, sehingga situasi masa kini tidak perlu diubah lagi. Ia menolak kemerdekaan Maluku. Komentar Habibie muncul setelah Presiden Maluku dalam pengasingan, John Wattilete, mengatakan bahwa negara Maluku tidak lagi menjadi prioritas utamanya. Meski kemerdekaan masih menjadi tujuan terakhir, ia menyatakan puas dengan otonomi yang juga diberlakukan di Aceh. Katanya, "Hal paling penting adalah penduduk Maluku bisa memimpin daerahnya sendiri."John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang presiden-presiden sebelumnya. Akan tetapi, sehari sebelum kunjungan kenegaraan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, pertama kali sejak 1970,Wattilete mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan kaki di Belanda. Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak berperasaan dan gagal, Presiden Yudhoyono membatalkan kunjungannya keesokan harinya.
Perkembangan politik di Indonesia
Penduduk Maluku Selatan mayoritas beragama Kristen, tidak seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia yang didominasi Muslim. Republik Maluku Selatan juga didukung oleh Muslim Maluku pada masa-masa awalnya. Saat ini, meski mayoritas penganut Kristen di Maluku tidak mendukung separatisme,ingatan akan RMS dan tujuan-tujuan separatisnya masih bergaung di Indonesia. Umat Kristen Maluku, saat kekerasan sekte 1999-2002 di Maluku, dituduh memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini berhasil membakar semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan Laskar Jihad. Situasi tersebut tidak diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen Maluku di luar negeri memang memperjuangkan berdirinya RMS.Di Maluku, Perjanjian Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak dan menentang segala jenis gerakan separatis, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia berkunjung ke Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS.
Sejak 1999, sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi di Ambon, mengumpulkan senjata, dan mengibarkan bendera RMS di tempat-tempat umum. Pemimpin FKM, Alex Manuputty, mengungsi ke Amerika Serikat dan terus memperjuangkan kemerdekaan.
3.Sejarah Lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Bicara
GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik
Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima
hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap
kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang
juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan,
mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23
Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ”Demi
Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai
titik darah saya yang terakhir.”
Kecuali
Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu.
Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu
Chokan (kini, kantor gubernur). Teuku Nyak Arief Gubernur di bumi Serambi
Mekkah.
Tetapi,
ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang,
prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang.
Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah
awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di
daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan
pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam
sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan
tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika
pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk
sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi
sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh
karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul
gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak
cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung,
Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh
menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah
bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun
kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS.
Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250
ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu
dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100
ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga
menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai
berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang
untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama
kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM
lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh.
Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh.
Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang
bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras
melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat.
Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat
memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah
tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat
Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat
meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan
penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa
senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di
Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata
ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim
hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro,
Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di
sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan
GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin
tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk
sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat
menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat,
dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih
di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?
Masih
ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei 2003 lalu. Hingga batas waktu
ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal
operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di
sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara
tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM.
Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya
begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit
melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan
GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan
teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh
Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah
disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai
tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus). Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.
Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina — Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom — Aceh Barat — dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus). Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.
Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina — Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom — Aceh Barat — dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-Senjata
GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung. Pasar gelap senjata ini dilakukan
oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang
tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat
besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah
penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3
milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI. Kini, senjata
yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata
berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki
mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit
and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI.
Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis,
berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades
inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang
teledor.
Membeli
senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas,
dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari
pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand,
Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan
wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang
pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi
surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang
ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura. Mantan
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah
menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan
bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM
mendapat upeti dari para pengusaha ”sahabat GAM” itu. Sistem komunikasi GAM juga
sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng
pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking,
radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali
gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering
kali gagal total.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.
Sumber
;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar